12 November 2019, hari di mana toga melekat dan gelar S.Pd pun menuntaskan prosesi wisuda yang mengharu biru. Tak hanya aku sendiri, setiap mata yang menyaksikan kesakralan acara spontan berkaca-kaca. Melangitkan rasa syukur, berbahagia dengan segenap pencapaian yang diraih dari jerih payah, pun alasan-alasan lain yang menjadi motivasi dari awal berjuang hingga kami semua bisa duduk di satu ruangan sebagai seorang sarjana.

Tak hanya hati yang bergetar, bahkan langkah kaki pun demikian. Aku nyaris tak bisa menjaga keseimbangan tubuh tatkala menunggu giliran, nama disebut berikut gelar yang diperoleh menggema dalam ruangan. Aku di antara 246 wisudawan/ti beserta ratusan para tamu undangan yang hadir. Rasanya takjub, luar biasa, gerimis, bahagia tak terkira.

Kubayangkan perasaan suami yang turut serta membersamai perjalanan wisuda ke Bandung. Terbayang wajah Emma yang sehari sebelumnya begitu haru, menelepon hanya untuk mendoakan kelancaran wisuda anaknya. Dalam dada untaian puji dan syukur terus melambung, berharap seluruh keluarga juga turut merasakan serta terhimpun rasa bangga dan bahagia.

Ini bukan hanya tentang mimpiku. Ada harapan suami, doa dan keinginan orangtua untuk melihat anak-anaknya berhasil. Sebuah langkah yang kelak semoga dapat memotivasi anak-anak kami untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik dari kedua orangtuanya. Pencapaian yang takkan kuraih tanpa peran berarti dari orang-orang terdekat. Doa, support moril dan materiil. Bahkan ketika semangat merampungkan studi sempat beberapa kali mengendur.

Jika bukan karena Allah, sekuat apapun kehendak belum tentu tertunaikan. Karena-Nya lah diri kembali memeluk mimpi yang terealisasi. Alhamdulillah.

Teringat ucapan seorang teman beberapa tahun yang lalu, "Kamu betulan jadi penulis? Kan kamu tak sekolah tinggi. Biodatanya mau diisi apa?"

Jleb! Kata-kata yang ringan namun menohok.

Aku hanya bisa menelan ludah getir. Mematut diri bahwa yang ia ucapkan hari itu memang benar adanya. Ketika teman-teman lain melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.. aku masih bukan apa-apa. Bahkan gelar yang kuperoleh pun masih sebatas penulis picisan. Melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang tertinggi saat itu hanya sekedar list yang tertulis di daftar planning.

Ditambah dengan ucapan dan sikap seorang guru yang merendahkan, hanya karena aku berasal dari keluarga yang broken home. Ah iya, barangkali beliau lupa. Di dunia ini tak ada manusia yang bisa memilih sendiri takdir dan kehidupan seperti apa yang akan dilalui. Semua yang terjadi, semua yang dijalani, mutlak tersebab ketetapan Allah menyertai di dalamnya.

Bahkan 50 ribu tahun sebelum anak manusia terlahir ke muka bumi, seluruh catatan hidupnya sudah Allah tulis secara rinci dalam kitab lauhul mahfudz.

Jika orang lain mengecilkan anak broken home, alhamdulillah aku bisa menyebut semua itu sebagai hikmah. Jalan hidup yang Allah pilih tetapi kemudian membuka pintu-pintu lain untuk menjemput impian.

Butuh waktu, perjuangan, airmata, kesulitan yang tak sedikit demi mengejar ketertinggalan di usia seperempat abad. Usia yang barangkali di mana orang lain justru tengah menempuh jenjang strata duanya dan menikmati karier. Bagiku, tertinggal sedikit jauh lebih baik ketimbang tidak mencoba sama sekali dan tak merengkuh kemajuan apa-apa. Apalagi jika hanya bisa menyawang pencapaian orang lain.

Dalam belajar, untungnya tak ada kata terlambat. Ustadzah Kokom yang berusia lanjut saja tetap antusias menuntaskan kuliahnya, meski beliau bisa disebut sebagai mahasiswi tertua di antara kami. Belajar dari orang-orang seperti beliau lah, diri jadi lebih tertampar untuk terus belajar. Yang usia lanjut saja masih semangat, tak malu, apalagi sungkan menuntut ilmu. Bagaimana dengan yang muda ini? Masyaa Allah.

Kuucapkan terima kasih untuk seorang teman, seorang guru, yang pernah mengecilkan diri. Karena berkat ucapan dan perlakuan mereka lah, ada motivasi untuk maju kendati saat peluang terasa sempit sekalipun.

Terima kasih untuk pihak-pihak yang tanpa dukungan mereka, aku tak bisa bertahan dan menjadi pejuang tangguh. Teruntuk suami yang sudah menyekolahkan istrinya. Ketika aku sendiri hampir menyerah karena terbentur biaya pun merasa insecure, beliau lah yang terus mendorong untuk maju dan menyelesaikan semuanya.

Bersama-sama mencari jalan keluar dan menghadirkan solusi. Syukran, Zauj. Tanpamu aku belum tentu bisa.

Semoga Allah gantikan setiap butir keringat yang jatuh pada saat mencari nafkah, Allah lipat gandakan ganti dari pundi uang yang mengalir demi membiayai istrimu dalam menempuh pendidikan yang layak dan bisa terus belajar.

Aamiin.

Terima kasih pada murabbi yang berlaku sebagai pengganti orangtua nun jauh di sana. Pada Emma, Etta, dan adik-adik. Alasan untuk terus berjuang dan membuktikan pada banyak orang, setiap kita boleh bermimpi, tak ada larangan. Selama ada kemauan, tekad yang sungguh-sungguh, usaha tak kenal lelah, maka akan Allah sertai jalan keluar baginya.

Mudah bagi Allah merubah apa yang mustahil di mata manusia menjadi sangat mungkin terjadi. Sekali 'Kun' maka 'Faya Kun'. Biidznillah.

Aku tak lagi takut untuk bermimpi lebih dari ini. Bersama Allah, setiap mimpi menjadi pasti.

Semoga barokah ilmu beserta gelar yang diperoleh. Ini bukan hanya soal predikat sarjana apa yang yang tersandang di belakang nama, tetapi kontribusi apa yang bisa diri bagikan pada ummat setelah ini. Kebermanfaatan macam apa yang bisa diri sumbangsihkan pada orang lain. Maka semoga Allah mudahkan diri dalam menunaikan amanah ilmu yang diperoleh.

Mengutip perkataan yang menjadi filosofi terkenal dari Eyang BJ. Habibie :

Keberhasilan bukanlah milik orang yang pintar. Keberhasilan adalah kepunyaan mereka yang senantiasa berusaha. 

Lantas, setelah wisuda mau ngapain?

Insyaa Allah, kendati masih berkiprah di rumah membersamai balita dan menjalankan peran sebagai istri sekaligus ibu. Gelar, ilmu, termasuk pula ijazah perguruan tinggi yang diperoleh takkan pernah menjadi sia-sia. Karena itu ilmu yang ada harus lah disampaikan. Ada banyak wadah untuk menyalurkan aspirasi sekaligus inspirasi.

Menulis adalah salah satunya.

Bersama ridho suami, untuk sementara aku masih akan fokus di rumah dengan amanah yang kembali Allah berikan saat ini. Sembari tetap produktif menulis. Insyaa Allah pada Desember mendatang menjadi agenda untuk launching buku terbaru bersama 11 penulis lainnya. 2020 adalah target produktif untuk menelurkan buku solo selanjutnya.

Dari rumah, jangan berhenti berkarya. Dari rumah, teruslah jadi emak yang berdaya. Emak yang berkarya, emak berdaya, emak yang luar biasa heheu ..

Alhamdulillah alladzi bini'matihi tatimmush shalihat :)

Sesuatu yang telah Allah gariskan menjadi milikmu akan tetap menjadi milikmu. Seberat apapun prosesnya. Sesulit apapun jalannya. Jika sudah ditakdirkan menjadi rezeki kita di dunia, niscaya akan tetap tergenggam. - Bianglala Hijrah

Alhamdulillah sah S.Pd :)

Karena-Nya, jangan takut bermimpi besar. Namun jangan lupa, sertakan Allah dalam setiap niat beserta langkah. Maka kebaikan dan keberkahan pun akan mengiringi perjalanan. Barakallah.

_________________

Ihdinashshirathal mustaqim [Man Jadda Wajada] ...

Magelang, 17 November 2019
Copyright : @bianglalahijrah

2 Komentar

  1. Selamat mbak. semoga ilmunya barokah, beratnya kuliah dilain sisi tanggung jawab keluarga. amatlah berat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah bini'matihi tattimush shalihah
      Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak. Bersyukur bisa menyelesaikan amanah studi di samping tanggung jawab sebagai istri/ibu di tengah keluarga. Semoga nanti, Allah izinkan kembali untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Aamiin :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)