Dampak Buruk dan Cara Tepat Menghadapi Mom Shaming-

"Anaknya jangan dikurung terus. Begitu keluar rumah jadi kayak burung yang lupa sangkar." | "Usia PAUD kenapa belum dimasukin sekolah?" | "Badannya kok kecil ya." | Pernah mendapat ujaran serupa? Itu hanya kalimat pembuka, sebab setelahnya akan ada kalimat menghamiki yang sengaja dilontarkan sehingga seorang ibu merasa disudutkan. Merasa disalahkan atas pilihan pengasuhan yang selama ini diterapkan.

Dalam realnya, masih banyak lagi komentar lain bernada negatif. Kalau dikumpulkan, rasa-rasanya tak ada kapasitas lebih untuk bisa menata hati tetap legowo menghadapi komentar julid dari orang-orang sekitar. Dari yang merasa dirinya paling tahu, mereka yang tak sadar telah berlaku mom shaming.

Mom shaming adalah tindakan mempermalukan seorang ibu karena merasa posisi dirinya lebih benar dalam perihal pola asuh. Beberapa orang tak segan-segan melontarkan ucapan yang bersifat perundungan (bullying), sinis, alih-alih memberi sebuah masukan justru terkesan lebih merendahkan.

Imbasnya? Seorang ibu hilang kepercayaan diri dalam mendidik buah hati. Tak sedikit yang stress, merasa tak becus, menyalahkan diri sendiri, sampai pada kemarahan yang tak terlampiaskan. Tentu saja akan berdampak pada waktu ia menghadapi buah hatinya.

Kemarin, ketika sedang menyusul ananda bermain. Kalimat serupa yang ada di paragraf pembuka melayang dari seorang bapak dengan anak satu seusia Aidan. Didukung  pula oleh ibu beranak 5 yang dengan jelas membuat perbandingan antara Aidan dan anak si bapak tersebut.

Geram? Iya. Bahkan sampai detik ini pun masih terasa mangkel. Dari kemarin aku menahan diri untuk tidak menangis. Betapa mom shaming kerap kali dilontarkan dari mereka yang merasa lebih tahu tentang apa yang benar dan apa yang mereka anggap belum benar. Padahal, mereka hanya membuat penilaian secara mentah tanpa mengetahui persis alasan maupun kesulitan seseorang di balik itu semua.

Hanya karena anak orang lain tidak serupa anak kita, bukan berarti orangtuanya telah salah menerapkan kedisiplinan. Hanya karena praktik yang kita terapkan berbeda cara dengan orangtua lainnya, bukan berarti kita lah yang paling benar dalam soal mendidik.

Setiap anak berbeda, memiliki keistimewaan tersendiri. Memiliki karakter hingga pola kebiasaan yang berbeda. Tentu saja menuntut penanganan yang berbeda pula. Antara satu anak dan anak yang lain tak bisa disamakan, apalagi dijadikan perbandingan. Saudara sedarah saja berbeda watak bukan? Meskipun lahir dari rahim yang sama.

Ada anak yang meski dilepas oleh orangtuanya, hanya akan anteng-anteng saja. Tetapi ada pula anak yang sedikit saja lepas pemantauan, sudah berpindah ke ujung jalan. Orangtua tentu lebih memilih menjaga keamanan ketimbang anaknya cedera.

Ini dilema bagi orangtua yang memiliki anak super aktif. Hal ini pun bukan perundungan pertama yang aku alami setelah menjadi ibu. Hingga berdampak pada baby blues dan benci melihat anak sendiri. Mengapa? Karena perlakuan mom shaming yang didapat dari orang-orang sekitar justru tak membangun sama sekali. Sikap dan cara mereka hanya mendatangkan perasaan terintimidasi. Disalahkan, dijatuhkan, diremehkan, sama sekali tak beroleh dukungan.

Pernah di satu waktu aku menangis sejadi mungkin, berhari-hari, marah pada bayiku, marah pada suami, marah pada diri sendiri. Fase dua tahun pertama setelah menjadi ibu dan berjuang mati-matian melawan syndrome baby blues. Komentar julid orang lain sukses menghempasku ke dasar paling menyakitkan sebagai seorang ibu yang tak bahagia dengan peran keibuan-nya.

Karena itu, ketimbang melontarkan komentar yang barangkali akan melukai orang lain.. lebih baik diam dan tahan untuk diri sendiri.

Kita tak pernah tahu kesulitan macam apa yang orang lain hadapi. Kita tak pernah tahu alasan apapun di balik keputusan yang orang lain ambil. Kita tak tahu persis, tantangan bagaimana yang ia lalui dalam keseharian ketika mendidik buah hati.

Tak adil jika hanya melihat sepintas, kita membuat penilaian dengan garis keras. Seolah-olah, orang lain tak berbuat lebih atas dirinya maupun anaknya.

Mirisnya, mom shaming sampai saat ini masih menjadi tradisi yang tak bisa lepas dari keseharian orang-orang. Tak hanya bersumber dari orang yang tak dikenal dekat atau pun tetangga. Orangtua, ipar, suami, bahkan mertua juga berpotensi sebagai pelaku mom shamers yang menuding seorang ibu tak pernah becus atas perannya.


Padahal, menjadi ibu adalah pekerjaan terberat sepanjang masa. Perlu digaris bawahi, tak pernah ada ibu yang sempurna dalam perannya, kecuali ibu yang sepenuh jiwa raga mendedikasikan hidupnya teruntuk keluarga. Memerlukan waktu dan proses belajar tanpa henti. Tak ada ibu hebat yang serta merta menguasai segala hal hanya dalam sehari.

Ibu yang beranak lima bisa saja merasa lebih paham ketimbang ibu yang beranak satu, tetapi kondisi di lapangan mungkin berbeda. Situasi serta kondisi yang dihadapi juga tak sama. Sebaiknya berhenti membuat penghakiman atas orang lain dan mengangkat diri sendiri dengan jalan menjatuhkan seseorang.

Jadi, hanya karena orang lain tak sesuai dengan prinsip yang kita lakoni. Bukan kita yang berhak menentukan arah orang lain jika kita sendiri tak bisa bertanggung jawab atas kesulitan-kesulitannya. Bahkan tak sedikitpun peran yang kita ambil dalam hidup orang tersebut. Lantas, hak apa yang membuat kita berhak menghamiki orang lain?

Ini self reminder pula untukku. Menjadi ibu yang kerap beroleh perlakuan mom shaming mengajariku satu hal penting, ketimbang mencecar keputusan orang lain, lebih baik posisikan diri sebagai pendengar. Kadang, orang lain tak butuh masukan jenis apapun. Didengar saja sudah cukup. Tak perlu berkomentar lebih jika tak tahu menahu, sebab bisa saja anggapan tersebut salah.

Setiap ibu berhak berbahagia, setiap ibu berharga, setiap ibu istimewa dan berjuang untuk anaknya.

Jaga lisan, dari kebiasaan menyakiti orang lain.

Karena orang lain punya hak atas bagaimana akan menjalani hidupnya.

Orang lain berhak berbahagia atas apapun keputusan yang diambil, maka tak perlu menghakimi.

Aku pernah berjuang sembuh dari baby blues, aku juga berada di posisi sebagai ibu yang menerima perlakuan mom shaming. Karena itu pula beberapa upaya hadir untuk mejaga diri tetap legawa dalam menjalani peran, terlepas banyak penilaian yang tak sejalan.

1. Jawab atau Tinggalkan

Ada situasi ketika kita perlu menjawab semua dugaan yang mereka lempar. Jawab kalem, sesuai apa yang memang terjadi di dalam keseharian. Alasan apa saja yang memaksa kita untuk menerapkan pilihan. Jika mereka masih mengolok-ngolok, nge-gas dengan dalih seolah-seolah cara kita lah yang keliru, senyum kemudian tinggalkan.

Kita tak perlu berlarut-larut berada di antara orang-orang yang jelas berusaha menyudutkan. Sebelum suasana hati bertambah tak enak, tarik diri untuk keluar dari lingkaran. Kamu berhak untuk menjaga perasaan sendiri ketika orang lain berusaha menyakiti.

2. Ambil sebagai refleksi diri

Ada jenis komentar yang harus kita ambil sebagai pertimbangan. Tetapi ada pula yang harus masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan. Ada komentar yang bersifat membangun, ada pula komentar yang bersifat menjatuhkan.

Pilah dan pilih mana yang harus didengar mana yang harus diabaikan. Ambil sebagai koreksi untuk perbaikan diri. Buktikan pada mereka bahwa anggapan mereka tidak lah benar.

3. Menyadari keterbatasan diri

Ketika orang lain beranggapan begini dan begitu, seolah-olah menjadi seorang ibu diwajibkan sempurna tanpa cela. Sadari bahwa tak ada ibu yang sempurna sekeras apapun kita berusaha. Karena manusia memang sebatas berikhtiar. Setidaknya kita tak melemah hanya karena dijatuhkan orang lain. Kita tetap berupaya dengan segenap jiwa raga untuk terus memberikan yang terbaik.

Ibu yang sempurna hanya ada dalam patokan masing-masing orang, tetapi dalam kenyataanya, tak ada yang betul-betul sampai ke tahap itu. Ya, karena kita bukan malaikat. Ibu juga manusia biasa. Kadang kala berlaku salah. Tetap semangat :)

4. Lihat sisi baiknya dan mulai lah memilih lingkungan

Kita berhak memilih lingkungan pertemanan yang sehat. Sekiranya tak mendatangkan manfaat, menarik diri akan jauh lebih baik. Salah satu tanda pertemanan sehat baik itu antara ibu-ibu, ketika tak ada sikap saling melemahkan peran orang lain apalagi terbiasa membuat perbandingan.

Aku juga membuat keputusan untuk tidak sering-sering berinteraksi dengan orang yang terbiasa melakukan mom shaming. Sekali, dua kali, masih bisa dimaklumi. Tetapi kali ketiga, barangkali memang demikian lah karakter individunya. Jaga jarak, jaga aman, dari pada kisruh dan hilang kewarasan. Kita berhak bahagia kok, jika niat silaturahmi tak lagi jadi sesuatu yang sehat, memilih circle lain yang lebih positif tak ada salahnya.

5. Jangan lakukan hal serupa pada ibu lainnya

Berangkat dari pengalaman pribadi, tak nyaman bukan ketika kita disudutkan oleh orang yang tak tahu menahu? Paling tidak, dari mengalami sendiri kemudian muncul rasa empati. Kita jadi lebih tahu bagaimana perasaan orang lain jika kita yang berlaku demikian.

Belajar dari pengalaman, mom shaming itu tak sama sekali mendatangkan manfaat bagi orang lain. Dengan memutus rantai buruk itu, kita berkontribusi untuk mengurangi potensi mom shaming antar sesama ibu. Dari pada saling menjatuhkan, lebih baik saling memberi dukungan.

6. Bersyukur dan berpikir positif

Seperti apapun komentar orang lain terdengar menyakitkan, kita tetap akan bersyukur dengan apa yang dimiliki. Seorang buah hati yang dinanti kehadirannya. Pasangan yang tetap memberi dukungan. Hal-hal positif lain yang dapat kita lakukan bersama buah hati. Tak perlu menilik isi piring orang lain jika hanya mendatangkan dengki dan mengikis rasa syukur dalam diri.

Yakini, bahwa apa yang kita miliki tak kalah baik dengan apa yang orang lain punya. Apa yang orang lain punya, adalah rezekinya. Rezeki kita pun sudah menjadi milik kita dan tak mungkin tertukar.

7. Ambil andil jika melihat mom shaming di depan mata

Dengan guyon dan bahasa yang tak terkesan menggurui, ambil posisi tengah. Beri edukasi pada orang-orang tersebut, bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan mom shaming. Banyak orang yang tetap mengulangi perlakuan serupa karena tak tahu potensi apa yang didatangkan akibat ucapan mereka.

Jelaskan bahwa setiap ibu tetap luar biasa, setiap ibu berjuang di ranah masing-masing, tanpa harus merendahkan satu sama lain.

8. Recharge pengetahuan dan belajar lebih banyak tentang parenting

Jalan paling bijak untuk mematahkan argumentasi mereka dengan menjadikan diri sendiri lebih baik, dengan terus belajar. Kita melawan anggapan mereka dengan bukti dan pengetahuan. Bahwa apa yang kita terapkan sudah berlandaskan ilmu, bukan asal jalan.

9. Antara orangtua dan mertua

Banyak orang yang akan terlibat atau berusaha terlibat dengan pengasuhan yang kita ambil. Sebagian di antaranya bersikap senioritas dan terkesan meremehkan sebab menganggap kita tak tahu lebih banyak dari pengalaman yang telah mereka alami. Tetap terima kendati bertentangan dengan apa yang kita pelajari.

Tak sedikit cara dan keyakinan orangtua tak sejalan dengan fakta ilmiah saat ini. Salah satunya penggunaan bedong pada bayi. Dulu, ketika kami dikunjungi orang tua dan Aidan dibedong kencang.. kami tetap menerima itu demi menyenangkan orang tua dan menghargai masukan mereka. Baru setelah kepulangan orang tua atau pun sanak keluarga, bedong itu buru-buru kami longgarkan.

Pun ketika ada yang tiba-tiba memukulmu dengan komentar buruk, balas dan jelaskan bahwa kamu sudah berusaha yang terbaik dari apa yang sekilas tampak di permukaan :)

10. Peran dan kehadiran suami yang terpenting

Dari pengalamanku, baby blues seperti racun yang mencekik diri sendiri. Belum lagi jika suami tak mengerti sama sekali. Aku berjuang sembuh, kendati bukan perkara mudah untuk melawan diri sendiri. Alhamdulillah, semakin ke sini.. komunikasi menjadi jembatan paling penting antara suami dan istri untuk beroleh keseimbangan dalam hubungan dan titik temu untuk apapun permasalahan.

Sepelik apapun situasi, kehadiran pasangan ada kalanya menjadi kekuatan tersendiri. Apalagi suami yang siap pasang badan. Ini sangat berpengaruh pada kesehatan mental sebagai ibu. Pasti rasanya hancur, ketika banyak orang yang menudingkan telunjuk tetapi suami hanya diam menyaksikan istrinya menerima rongrongan.

Akan berbeda jika suami siap pasang badan dan menjelaskan keadaan sebenarnya. Biasanya, baik itu orang lain atau pun orang-orang terdekat, mereka akan lebih sungkan untuk berkomentar blak-blakan di hadapan suami. Apalagi jika suami memang orang yang tahu menempatkan diri. Orang akan berpikir ulang untuk menodong kita dengan prasangka buruk mereka.

Intinya, peran dan dukungan suami menjadi penguat bagi kita para istri sekaligus ibu. Jangan sungkan ceritakan pada suami pengalaman tak menyenangkan yang dialami, agar suami bisa jaga-jaga untuk melindungi.


______________________________

Semoga postingan ini bermanfaat. Putus rantai mom shaming dimulai dari diri sendiri. Setiap ibu berhak berbahagia untuk terus bisa mendidik dengan cinta dan sepenuh hati :)

....

Magelang, 20 Oktober 2019
Copyright : @bianglalahijrah

4 Komentar

  1. Saya mengalami baby blues kelahiran si sulung. Komentar orang-orang di sekitar memang menambah stres pikiran. Akibatnya ASI saya sedikit.

    Pada kelahiran adiknya, saya juga mengalami baby blue. LDM dengan suami bikin saya down. Tapi untungnya sudah lebih slow menghadapi omongan orang:)
    Cuek bikin saya feel better, sih:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salah satu cara mengatasi mood swing, mau tak mau kudu ndableg ya mbak. Apapun yang orang lain katakan, sebisa mungkin tak perlu dimasukin ke hati. Langsung masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Semangat untuk kita para ibu, keep strong :)

      Hapus
  2. Belum menikah jd blm tahu tentang itu. Tp sebuah ilmu berharga kak

    Cerita Alister N

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)