14 September lalu menjadi hari paling dramatis. Alasan mengapa aku menangis ketika anak dan suami menghantar keberangkatanku siang itu, bukan saja karena ini perjalanan  pertama tanpa dibarengi mereka. Tetapi tepat di hari keberangkatan, kepercayaan diriku surut begitu saja. Aku selalu begitu, tetiba lemah dan ragu pada kemampuan diri sendiri. Kendati suami telah banyak membantu dan memberi support lebih.

Persiapan menghadapi ujian di Bandung, nyatanya berjalan tak sesulit apa yang dibayangkan. Pun beberapa persiapan detil yang dilakukan seolah tak berarti begitu tiba di hadapan dewan penguji. Paling tidak, kami semua sudah berjuang semaksimal apa yang dimampu. Jika ternyata yang berjalan jauh lebih mudah, itu karena Allah yang Maha Memudahkan. Karena kami benar-benar telah mengupayakan ikhtiar semaksimal mungkin sebelum berangkat ke medan jihad ilmu.

Sepanjang perjalanan pergi hingga pulangnya, perjalanan itu tak kuhabiskan untuk lebih banyak tidur sekalipun sehari sebelum keberangkatan, malamnya hanya tidur selama tiga jam karena sibuk mempelajari ulang semuanya dan menyiapkan file power point.

Rasanya berada di titik rasa syukur yang membuncah hingga tak banyak kata yang mampu menggambarkan semuanya. Haru. Bahagia. Sedih. Lapang. Semua menyeruak di waktu bersamaan.

Tilawah teman-teman yang duduk di belakangku tatkala sedang murojaah juga membuatku kian melankolis. Bertemu para dosen yang luar biasa, teman-teman yang membersamai dengan berbagai karakter yang tak sedikit dari mereka menyentilku untuk menjadi lebih baik. Bagiku, semua ini adalah bagian dari rencana baik Allah. Terlepas siapapun yang kutemui di sepanjang jalan. Aku sampai di titik ini semata karena Allah yang menuntunku. Bagian dari kemurahan-Nya lah. Kendati berkali-kali aku ingin menyerah, kalah pada diri sendiri.


Namun sekali lagi, Allah menghantarku pada titik di mana tak ada yang tak mungkin jika memang Allah yang berkehendak demikian. Selama ini, toh motivasiku hanya ingin belajar lebih. Kendati di fase-fase itu, motivasi dalam belajar pun seperti naik turun. Tetapi sungguh belajar menjadi sebuah amanah. Amanah dari Rabb-ku, amanah dari Emma, yang acap kali setiap menelepon beliau selalu menangis dan bercerita tentang hal sama.

"Belajar yang rajin, Nak. Tuntutlah ilmu. Pedih betul jika tak berilmu macam mamakmu. Hanya bisa planga-plongo jika tak tahu."

Atau ketika beliau bercerita tentang betapa tinggi teman-temannya di hadapan beliau yang berbicara tentang sesuatu hal yang tak sampai di jangkauan pemikirannya, sekalipun Emma ingin tahu. Seringkali Emma minta dijelaskan olehku, meski telah kujelaskan dengan bahasa sederhana, Emma menangisi ketidakmampuannya sendiri.

Barangkali pula, karena dulu ketika Emma masih remaja.. keinginan beliau untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi harus kandas saat perjodohan datang menghampiri di usia yang masih sangat muda. Karenanya, sejak awal anaknya bisa menulis dan membaca, tak dipungkiri Emma satu-satunya orang yang mendukungku untuk belajar. Emma pula yang berdiri di sampingku ketika tak satu pun keluarga memudahkan jalan untuk menempuh pendidikan ke sekolah menengah.

Bagiku Emma adalah guru, kendati beliau tak berilmu tinggi. Kendati tak ada gelar akademik di belakang namanya. Tetapi Emma menyadarkanku tentang pentingnya belajar. Pedihnya menelan ketidaktahuan diri. Pedihnya bergelimang dalam kebodohan. Pedih betul, ketika inginmu tak disetujui orang-orang yang seharusnya mendukungmu dalam belajar lebih baik.

Di Bus hari itu, tak ada yang tahu berapa kali aku hendak menyeka air mata sendiri. Terharu pada garis nasibku. Dulu sekali, ketika usiaku masih tigabelas tahun kala itu. Aku menulis sebuah planning impian dari tahun demi tahun hingga lonjakan tahun-tahun panjang kemudian, akan seperti apa aku nantinya. Akan menjadi apa aku sebagaimana impian yang kutulis di planning itu. Nyatanya, takdir menghempas mimpi di list planning itu sebab rasanya tak mungkin.

Kenyataan berbanding terbalik dengan hal-hal yang tadinya kutulis.

Butuh waktu bertahun-tahun kemudian, sampai aku sadar bahwa manusia sebatas merencanakan saja. Seperti apa nantinya, mutlak ketetapan Allah. Di titik pemahaman itu aku mulai belajar menerima, apa saja skenario dari takdir yang Allah gariskan. Dan akhirnya, Allah sungguh sesuai persangkaan hamba. Satu persatu mimpi itu terengkuh meski jalannya tak semulus yang kucanangkan waktu itu. Orang melihat ini sebagai hal kecil biasa, sebab siapapun bisa meraihnya, tetapi bagiku yang butuh perjuangan lebih.. pencapaian sekecil apapun terasa amat sangat berharga. Setiap incinya ada ketetapan baik Allah yang menyentuh hati untuk bersyukur lebih.

"Allah's timing is always perfect in every matter. We don't always understand the wisdom behind it. But we have to learn to trust it. Faith is trusting Allah even when you understand His plan.."

Selangkah lagi menuju wisuda, jika bukan karena murabbi yang berperan sebagai ganti orangtua nun jauh di sana. Aku masih limbung di antara pilihan diri sendiri yang plin plan menentukan jalan setelah banyak hal terlalui dan tak ada yang benar-benar mudah atau memberikan pilihan enteng. Murabbi lah yang sejak awal memaksaku mempertahankan jalan ini. Murabbiku pula yang mati-matian mendorong terus menerus untuk bertahan sampai akhir. Bertemu dengan orang-orang baik, sungguh rezeki paling nyata yang seterusnya wajib disyukuri.

Karena kadang, pertolongan Allah datang tidak dalam wujud materi. Tetapi melalui orang-orang shaleh yang merangkulmu ketika imanmu bahkan tinggal sehelai benang. Melalui orang-orang yang tak henti mengingatkanmu untuk menuju kebaikan senantiasa. Ini rezeki terbesar dari-Nya, sebab di sepanjang perjalalanan rantau dari tanah kelahiran hingga ke kota tempatku menetap kini, Allah kirimkan teman-teman baik. Alhamdulillah.

Selangkah lagi ternyata, tinggal selangkah lagi menuju hari wisuda. Bismillah, biidznillah. Terima kasih untuk kesempatan dalam belajar yang telah diberikan. Kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi.

STAI Sabili Bandung, 15 September 2019

________________________________

Magelang, 24 September 2019
Alam nasyrah laka shadrak_

Yes, Allah knows. Allah knows you're tired. Allah knows it is difficult for you. But you must also know that Allah would never place you in a situation that you can't handle. Sampai sejauh ini, keteguhan hati masih harus terus dipupuk. Tetapi bergantung pada Allah, maka akan selamat. Man Jadda Wajada.

Semoga bermanfaat, tulisan ini sebagai jejak untuk bertahun-tahun akan datang ketika kita kembali mengingatnya. Akan kuingat wajah kalian, nama kalian, kebaikan kalian. Tabarakallah.

0 Komentar