Bismillah. Banyak hal yang terlampaui akhir-akhir ini. Begitu pula dengan keputusan untuk pulang dan kembali berjibaku dengan hal-hal yang ada di tempat ini. Dengan suasana yang tak banyak berubah. Orang-orang yang sama. Kekepoan yang sama. Kenyinyiran yang sama. Dinamika yang juga sama. Perbedaannya, setidaknya aku merasa lebih siap mental untuk menghadapi ini sekarang. Untuk membangun prasangka baik, untuk memaknai hikmah dari ujian yang menimpa.

Komitmen demi berbirrul walidain. Serta harapan bahwa pengalaman yang sudah-sudah cukup memberiku kekuatan untuk bertahan lebih baik dan lebih kuat dari sebelumnya.

Ketika berkata say goodbye pada kediaman terakhir kami, aku benar-benar menata hati bahwa tak ada lagi yang tersisa untuk rumah itu. Sebab rumah yang kini menjadi tujuan kami pulang adalah muara untuk semua hal yang patut diperjuangkan sekaligus disyukuri, akhirnya memang akan seperti ini. Terlepas apakah kembali menggoreskan trauma yang sama tentang pengalaman yang dulu dilalui, atau mungkin menjadi jauh lebih baik dan semakin baik lagi.

Apa yang bisa menjadi pilihan lain seorang menantu sekaligus istri selain taat? Jika pulang adalah satu-satunya solusi demi kebaikan semua orang terutama bakti pada orangtua suami, maka mengalah adalah kewajiban. Tak ada ruang untuk mencipta dunia sendiri di luar sana. Yang baik lingkungan maupun suasananya takkan memberimu rasa pengap untuk leluasa bernafas.

Maka, semoga yang kusemogakan. Teriring doa dari mereka yang menyematkan namaku di dalam munajatnya. Bagiku, kembali ke rumah ini adalah perjuangan. Entah layak atau tidak jika ini kusebut sebagai pengorbanan pula. Sebab bagaimana rasanya jika harus kembali berbaur dengan orang-orang di lingkungan yang dulu pernah membuatmu menguras airmata setiap hari?

Bagaimana rasanya ketika harus membangun prasangka baik lagi dan lagi demi untuk menjalani kehidupan normal kendati di waktu bersamaan hatimu juga menyimpan kecurigaan. Karena berkaca dari kejadian pun pengalaman yang sudah-sudah, masih ada luka yang tersingkap begitu saja.

Barangkali kehidupan pernikahan yang kubangun dalam ekspektasiku dulu begitu muluk. Bahwa cukup dengan cinta kau mampu membangun istana dalam wujud rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah dengan suka cita. Tanpa pernah terpikir bahwa di dalam realitanya setiap orang akan terbentur dengan masalah dan mungkin pula terluka.

Menginjak tahun ketujuh, betapa aku mendewasa dengan semua ini. Masa muda yang kuhabiskan untuk membuka mata lebih lebar pada realita kehidupan yang ada. Masa muda yang dihabiskan untuk belajar menyelami berbagai permasalahan yang datang, untuk lebih bijaksana dan kian dewasa. Insyaa Allah.

Untuk usia yang beranjak di angka 25 tahun. Terima kasih untuk airmata atau tawa. Untuk suka dan duka yang telah mengiringi langkah.

Di sini, jauh dari keluarga dan sanak saudara dekat. Jauh dari orangtua kandung. Ketika menangis dan menyeka sendiri airmata adalah pilihan terbaik ketimbang harus mengadu pada sesiapa di seberang sana. Rasanya jauh lebih tenang, jika mereka hanya mendengar kabar yang baik-baik saja.

Ini yang disebut konsekuensi dari pilihan yang kau ambil bertahun-tahun lalu. Setiap orang juga pasti berhadapan dengan konsekuensinya masing-masing untuk apapun keputusan yang ia ambil dan jalani saat ini. Paling tidak, kita beroleh pembelajaran dari itu. Suka atau tidak, pada akhirnya kita tetap akan bersyukur ketika mendapati hikmah apa yang ada di balik semua itu. Barangkali, suatu hari nanti kita akan lebih mensyukuri jalan berkelok yang Allah gariskan ketimbang jalan mulus yang kita rancang sendiri.

Dan di mana pun tempatnya, kita akan selalu bertemu dengan orang-orang yang tulus menyukai sekaligus orang-orang yang turut membenci. Seberapa banyak orang yang menyukai kita, sebanyak itu pula orang-orang yang akan membenci kita. Kita sendiri tak bisa mengatur diri untuk menjadi seseorang yang akan selalu disukai dan diterima oleh siapa saja di mana pun berada.

Kadang, sekalipun kita berusaha untuk menjaga attitude termasuk pula ucapan hingga tulisan.. tetap ada orang yang melayangkan ketidaksukaannya terlebih kebenciannya. Mengapa? Karena satu-satunya hal yang tak bisa kita saring adalah isi hati dan pikiran orang lain tentang kita. Kita tak bisa menangkis apalagi memangkas prasangka buruk apa yang orang lain bangun terhadap kita.

Hal mustahil untuk membuat semua orang tetap menyabitkan senyum dan sapa ketika berpapasan maupun hidup berdampingan. Hal mustahil untuk beroleh semua keridhaan manusia, sedang baik kita maupun mereka sama-sama tak sempurna. Hanya nilai yang kita bangun sendiri yang seringnya menjadi sekat perbedaan.

Bismillah, penting untuk tetap meluruskan niat. Menata kembali apa-apa yang sudah tersusun dalam azam. Bahwa ketika ridha manusia yang engkau cari, hatimu justru akan semakin kecil dan mengerdil. Tetapi jika ridha Allah yang menjadi orientasi, hatimu akan senantiasa lapang walau ujian menghimpit bertubi-tubi.

Laa hawla walaa quwaata Illa Billah ..

Positifnya, aku yakin kembali ke tempat ini adalah satu dari berjuta maksud baik yang ingin Allah buka dan tunjukkan padaku. Jika tak pernah ada beban tanpa pundak. Begitu pula dengan setiap ikhtiar yang terkerahkan, tak ada yang pernah terhempas jatuh ke dasar tanah kemudian hangus tak bermakna. Allah punya skenario. Allah punya rencana. Kita manusia hanya pelakon, hanya tinggal melakoni apa-apa yang telah dijatahkan.

Ishbir, innallaha ma'ana. Tulisan ini semata-mata untuk memotivasi diri sendiri. Catatan yang juga ditujukan pada diri sendiri untuk membangun kembali azam, mengokohkannya dengan doa sekaligus prasangka baik. Sebab segala sesuatu kembali kepada niatnya.


Teruntuk pula semua istri sekaligus ibu yang tengah menunaikan bakti kepada suami dan mertua. Setiap kita melewati ranah berbeda, ujian yang berbeda dengan awal dan akhir yang tak persis sama. Tetapi satu yang sama-sama kita miliki kemudian, kekayaan apa yang lahir dari sebuah hikmah maupun ibrah. Hari ini, besok, dan seterusnya. Semoga Allah teguh dan kokohkan langkah untuk terus menanam kebaikan dalam wujud apapun dan Dia sebagai orientasinya. Aamiin.

Let the pain of tribulation be lightened for you by knowing that it is He Most Glorious who is making trial of you; For Him from whom you are faced with the blows of fate is He who has accustomed you to His choosing well. Agar ujian terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allahlah yang memberimu ujian. Dzat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Dzat yang selalu memberimu pilihan terbaik. #SelfRemind kata-kata yang mengalirkan energi positif dari Ibnu Atha'Illah As-Sakandari.

***********************

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. al-Baqarah [2] : 216)

Semoga bermanfaat :)

Magelang, 16 November 2018
copyright : @bianglalahijrah_

0 Komentar