Bismillah, sebuah refleksi lagi. Bahwasanya, hidup memang bukan tentang seberapa banyak orang yang bisa mengangguk setuju di hadapanmu lalu kemudian berkata tentang kebenaranmu. Melainkan seberapa bijak kita menghadapi kepala-kepala yang tak selalu satu frekuensi denganmu. Seberapa bijaksana kita menyikapi orang-orang yang tak selalu sejurus dan sejalan dengan kita.

Perbedaan itu akan senantiasa ada mewarnai. Baik antara anak dengan orangtua. Istri dengan suami. Menantu dengan mertua. Murabbi dengan mutarabbinya. Guru dengan siswanya. Hingga pada kasusku, dosen dengan mahasiswanya. Atau mahasiswa antar mahasiswa yang lain.

Sebelumnya, aku beberapa kali sempat masuk kemudian hengkang dari kampus maupun prodi yang kupilih. Ada banyak sebab dan alasan. Salah satunya adalah perbedaan fiqroh yang mewarnai. Lingkup kampus yang tak mensupport. Serta banyak lagi yang bertolak belakang dengan kata hati jika disandingkan pada realita yang dihadapi ketika di kampus.

Universitas pertama yang kumasuki selama berada di Magelang begitu terasa asing dan mengasingkan. Baik lingkupnya terlebih teman-temannya. Barangkali karena pemakai hijab syar'i masih terhitung jari. Sedang mahasiswanya datang dari keyakinan, profesi, dan latar belakang yang beragam. Jika pun muslimah lain mendominasi, tetapi hijab yang dikenakan nyatanya jadi pembeda. Karena perbedaan itu pula, rasa terdiskriminasi jauh lebih ketara. Merasa diasingkan, dikecualikan, tak beroleh ruang untuk ikut bersuara. Serta ketidaknyaman yang lain. Tiba-tiba keputusan untuk terdampar di S1 Sistem Informasi menjadi keputusan yang keliru.

Kondisi ibu muda yang masih melalui fase menyusui saat itu, membuatku lebih sentimentil dan melankolis dalam menyikapi atmosfer baru di kampus. Kerapnya aku menangis di hadapan suami. Meminta izin beliau untuk hengkang dari kampus yang juga jadi tempatnya untuk beroleh gelar S. Kom. Suami pula yang merekomendasikan kampus dan prodi ini. Dengan beberapa pertimbangan yang diharapkan mendatangkan kebaikan bagi kami bersama di masa mendatang.

Faktanya, aku lebih memilih untuk mangkir seterusnya. Harapan yang tadinya menjadi motivasi ketika memilih prodi ini hangus seketika.

Beberapa bulan kemudian, lagi-lagi lewat suami yang memberi info jika salah satu universitas ternama di Semarang membuka kelas di Magelang dan Prodi-nya pun sesuai dengan keinginanku. Aku kembali bersemangat untuk memasuki dunia perkuliahan dengan niat bertholibul 'ilmi. Prodi S1 Pendidikan Agama Islam menjadi solusi yang diharapkan.

Aku berprasangka baik karena akan bertemu teman-teman yang kuharap bisa sefikroh denganku, welcome dengan muslimah berbusana syar'i. Tetapi kemudian, lagi-lagi hanya tinggal harapan. Aku hanya bertahan di satu semester pertama. Masa-masa perkuliahan di atmosfer baru kali ini justru lebih mencengangkan.

Jika di kampus sebelumnya aku hanya merasa terasing oleh teman-teman yang notaben memang tak semuanya muslim. Tantangan di kelas ini ternyata tak kalah sengit. Dari cara mereka berinteraksi, memperlakukan mahasiswi baru yang katanya lebih nyar'i dari mereka yang mengasuh salah satu pondok pesantren. Sebab beberapa dari teman sekelasku saat itu adalah ustadz sekaligus ustadzah di sebuah ponpes yang latar belakangnya tak begitu kuketahui.

Lagi-lagi perasaan asing menyelinap begitu saja. Mereka semua muslim, tetapi penilaian akan hijab syar'i seperti sebuah sekat bahwa yang berbeda adalah sesat. Mereka mulai bertanya dari mana aku berasal, dan mengungkit se-fanatik apa orang-orang yang ada di tempat asalku. Meski aku sendiri tak merasa demikian. Pun fakta yang mereka beberkan hanya berdasarkan apa kata orang, menurut seseorang, tetapi melihat langsung jelas belum pernah. Belum lagi, interaksi antara laki-laki dan perempuan seperti tak memiliki pembatas. Ada hal-hal yang menjadi prinsip tetapi tak berlaku di sini ketika di antara mereka. Itu juga yang menjadi alasan dan sebab ketidaknyamanan lagi. Aneh ketika merasa bahwa hijab yang kukenakan, bagi mereka hanya simbol fanatisme.

Ternyata benar, yang sulit bukan berdiri sama di samping orang-orang yang berbeda keyakinan denganmu. Tetapi lebih sulit lagi, berjalan seiring bersama orang-orang yang meski memeluk keyakinan yang sama tetapi tak menjamin akan sefikroh. Satu akidah tetapi berbeda manhaj. Satu pemahaman tak menutup kemungkinan pula akan berbeda dalam melaksanakannya.

Endingnya, tak hanya lingkup dan teman-temannya saja yang menjadi pertimbangan untuk berhenti. Fakta bahwa embel-embel kuliah dengan biaya murah, semester pendek dan segera wisuda, hanya menjadi pintu bagi keuntungan beberapa oknum. Dunia perkuliahan yang diharapkan tak sepenuhnya kuperoleh di sini. Aku menyesal mengiyakan keputusan untuk melanjutkan kuliah ketika kembali memustuskan hengkang. Rasa-rasanya menjadi ibu rumah tangga jauh lebih membanggakan jika kenyataanya demikian.

Suami pasrah tak memaksakan keadaan maupun kehendak. Aku yang menjalani ini, baginya selama itu yang terbaik.

Kali kedua sewaktu memutuskan berhenti, keinginan untuk berkuliah juga menyusut drastis. Nyatanya dunia perkuliahan yang kumasuki tak seperti harapan. Aku ingin belajar dengan tenang. Berada di lingkup yang mensupport hijrahku. Bertemu teman-teman yang sefikroh. Iya pun tak sefikroh, setidaknya mereka tahu cara untuk menghargai perbedaan tanpa harus menjatuhkan yang lain. Tanpa harus membuat orang lain merasa terdiskriminasi. Diperlakukan tak adil.

Setelah keinginan untuk belajar di bangku kuliah meredup. Aku pasrah, seolah menjadi ibu rumah tangga adalah karier yang lebih cocok untukku. Di samping itu, aku memilih untuk terus aktif menulis dan travelling bersama keluarga di akhir pekan menjadi ruang kesenangan yang mendatangkan banyak hal baik dan manfaat di waktu bersamaan. Menulis, membaca, ngetrip, pun berkecimpung di dunia fotografi menjadi hal-hal yang saling berkesinambungan satu sama lain.

Aku membaca untuk menulis lebih baik sekaligus menyerap banyak ilmu. Travelling memberiku ide-ide baru ketika menulis yang bersumber dari mana saja. Dari apa yang kutemukan di sepanjang pergi dan pulangnya, atau ketika menyambangi tempat baru dan bertemu dengan orang-orang baru. Selalu ada cerita yang layak ditulis untuk disampaikan kepada banyak orang. Kemudian fotografi, bagiku tak hanya tulisan yang dapat menjelaskan banyak kata dan cerita. Tetapi gambar juga bersifat demikian. Lensa kamera membantuku untuk menangkap sudut tak biasa yang mungkin tampak sepele jika dilihat oleh mata telanjang manusia. Untuk menangkap angle-angle indah dari maha karya Tuhan, baik yang telah dibumbui oleh hasil tangan manusia.

Bagiku hal-hal ini bukan semata ajang eksistensi belaka. Dilakukan karena mendatangkan manfaat. Kebaikan bagi diri sendiri, minimal. Semua orang punya cara untuk berbahagia bukan? Kau berhak untuk itu.

Dan setelah memutuskan berkecimpung dengan semua itu. Selang setahun, aku kembali membangun motivasi untuk menjajaki dunia perkuliahan atas rekomendasi dari murabbiku sendiri. Kali ini, di kampus dan Prodi yang berbeda yaitu S1 Manajemen Pendidikan Islam. Alhamdulillah, meski semangat maupun motivasi dalam diri masih naik turun begitu saja. Setidaknya, sejauh ini aku berhasil melawan diri sendiri.

Teman-teman yang kutemui juga sedikit banyak membantuku untuk memperbaiki pemahaman diri dan membuka kaca mata lebih lebar. Terlebih interaksi antara ikhwan dan akhwat tetap terjaga. Baru di semester ini perkuliahan untuk akhwat dan ikhwan, kelasnya digabung. Jangan kan mendiskriminasi muslimah yang berhijab syar'i, justru busana ini menjadi satu hal yang wajib di sini. Aku tak lagi merasa asing dan sendirian. Ada banyak teman-teman yang berpenampilan sama denganku. Teman-teman yang terkadang juga menjadi alarm sebagai pengingat.

Jika bisa bertahan sampai di semester ini .. ketika skripsi sudah di depan mata, saat menuju podium kebanggaan di hari wisuda tinggal satu langkah lagi, jangan kira aku tak menemukan hal-hal yang tak menyenangkan. Hanya saja aku memilih untuk berhenti berpetualang di banyak kampus, karena sedikit banyak telah menemukan apa yang kuharap dalam dunia perkuliahan di sini. Selanjutnya, tugasku untuk menahan sekaligus menyaring ketidaknyamanan yang datang dalam bentuk apapun.

Sekalipun ada teman-teman yang berlaku tak adil dan membuatmu kecewa atau dosen yang menyampaikan materi dengan nada menyindir dan penyampaian kurang tepat. Lebih tepatnya, karena hati dan pemikiranmu sendiri menolak itu.

Namun seperti yang diucapkan suami. Ke manapun pergi, apapun wadah tempat kita berkontribusi, selalu saja ada hal yang tak menyenangkan. Selalu saja akan ada gesekan maupun permasalahan, yang terjadi dengan orang-orang di sekitar kita. Akan selalu ada sebab ketidaknyamanan yang hadir.

Jadi, aku belajar.. sungguh belajar keras untuk memanage diri sendiri. Terlebih memanagemen hati untuk tetap bening meski kondisi yang terjadi di sekitar sedang keruh. Karena pada dasarnya kita tak selamanya benar, begitu pula orang lain yang tak melulu akan benar. Ada hal yang bisa saja tidak kita terima dari orang lain, begitu pula orang lain terhadap kita.

Masing-masing kita berhadapan dengan ketidaknyamanan diri sendiri terhadap satu maupun banyak sebab. Tetapi setelah pengalaman sebelumnya, aku belajar satu hal bahwa menarik diri bukan satu-satunya solusi. Tak ada masalah atau selisih paham yang terjadi, dapat terselesaikan jika solusi yang dihadirkan adalah memilih mangkir atau hengkang.

Terpenting, sebelum memutuskan kuliah.. tak hanya Prodi saja yang menjadi pertimbangan. Melainkan lingkup kampus, circle pertemanan yang sesuai, kondisi psikis atau kemampuan kita sendiri. Ada hal-hal yang perlu ditakar sebelum terlanjur merasa salah dalam langkah. Merasa keliru untuk terdampar di jurusan atau kampus yang tak sesuai dengan basicly diri.

Bismillah, semoga bisa tetap bertahan di Prodi ini sampai akhir. Sampai semua energi, tenaga dan pikiran terkuras dengan baik untuk hasil akhir yang baik. Aamiin.

Ingat lagi wajah mamak dan bapak yang mendoakan sekaligus berharap untuk keberhasilanmu setiap saat. Ingat lagi wajah suami dan anak yang tetap mensupport apapun situasimu ketika bangun atau jatuh.

Ingat lagi orang-orang yang kerap meremehkan mimpimu. Membuatmu merasa kerdil, kecil, tak berarti. Jadikan perlakuan mereka sebagai motivasi untuk berhasil lebih baik. Berusaha lebih baik. Menjadi lebih baik.

Ingat lagi, kembali ke motivasi awal ketika ingin berhenti. Karena tak ada yang dirugikan dari keputusan kita kecuali diri sendiri. Orang lain mungkin hanya bisa mempersulit jalan kita, tetapi jangan pernah permudah mereka untuk itu. Oke, pejuang skripsiiiiiiiii. SEMANGAT!!!

Do not keep company with anyone whose state does not inspire you and whose speech does not lead you to God. #SelfRemind

*********************

Life has it's ups and downs. You will never fully appreciate the ups unless you have some downs. -Anonymous-
Semoga bermanfaat :)

Magelang, 14 November 2018
copyright : @bianglalahijrah

0 Komentar