"Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa nyaman kepadanya (sakinah), dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [QS. ar-Rum: 21]

Siang itu tepat saat adzan dzuhur berkumandang, kami menepi di sebuah masjid yang terdapat di tengah-tengah komplek perumahan. Aidan tertidur lelah dan sedikitpun tak bergeming saat digendong turun dari kendaraan.

Angin yang bertiup sejuk mengundang rasa kantuk seketika. Jelas saja, sebab ada tubuh yang juga merasa lelah usai menantang terik. Kami bertiga, memilih duduk leyeh di teras masjid sambil menunggu gantian untuk mengerjakan shalat.

Mataku memandang sekitar masjid yang dikelilingi oleh rumah-rumah elit lantai dua dengan eksterior apik. Membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah gedung sebesar itu. Rasanya jauh sekali dari harapan. Sebab untuk memimpikan rumah sebagus itu, sedikitpun tak pernah terbersit dalam hati maupun pikiran.

Pernah, suatu malam saat kami berdiskusi menjelang tidur. Kubilang pada suami, bahwa aku tak menginginkan rumah mewah atau kendaraan mahal. Cukup rumah sederhana, layak, nyaman dan aman sebagai tempat menetap. Yang terpenting, rumah itu adalah tujuan pulang bagi semua penghuni yang ada di dalamnya.

Tujuan yang akan selalu menjadi arah sejauh apapun kaki melangkah. Rumah yang di dalamnya takkan sepi ketika penghuninya saling memilih untuk pergi. Rumah yang 99 nama-Nya bernafas di dalamnya. Rumah sederhana, tetapi melapangkan hati pemiliknya.

Inginku pun sederhana, sebuah rumah impian dengan kriteria di atas. Rumah yang tak perlu mewah dengan design bangunan atau arsitektur yang wah. Yang tegak mencolok dengan keindahannya agar orang lain dapat melihat betapa megahnya ia.

Yang kuinginkan adalah rumah, rumah impian untuk keluarga kecilku. Rumah di mana aku akan memasak masakan sehat dan lezat setiap hari untuk semua penghuninya. Rumah di mana aku akan menyambut kepulangan anak-anak beserta suamiku setiap harinya. Rumah yang akan menyaksikan perjuanganku, napak tilasku, hingga nanti di gurat usia yang menua. Hingga nanti ketika berpulang kepada-Nya dalam khusnul khatimah. Aamiin insyaa Allah.

"Rumahnya bagus-bagus ya, Nda?"
"Iya, Yah. Tapi rasanya justru minder tinggal di rumah sebagus itu."

Suami menatapku, barangkali ia paham maksudku. Sebab tak sekali dua kali kusampaikan padanya, tentang sketsa rumah impian yang kuinginkan. Dan rumah yang berada tepat di depan mata kami, sama sekali tak pernah ada dalam anganku. Mendamba untuk punya pun tidak.

Lalu obrolan ringan membuat terik di siang itu menjadi teduh.


Membahas tentang konsep sederhana yang kami cita-citakan. Tentang pernikahan yang saat ini berjalan pada tahun ke-tujuh. Waktu seperti berjalan begitu cepat. Mengingat hari ini kami bahkan sampai di tahun ke sekian usia pernikahan. Masih seumur jagung barangkali. Tetapi setiap moment yang terlampaui menjadi pembelajaran berharga, sarat ibrah, dan modal pendewasaan bagi kami pribadi.

Tak kupingkiri, bahwa sabarnya berperan kuat di biduk ini. Untuk menghadapi segala macam kekurangan yang bersumber dari kepribadianku. Pun, juga kekuatan yang kupilin setiap saat demi tetap berdiri tegak di sisi lelaki yang kupilih. Meski konsekuensi yang dihadapi kadang jauh dari ekspektasi. Sekalipun titik jenuh kadang mendorongku untuk melangkah pergi.

Tak ada biduk tanpa ujian. Dan ini terbukti dari tahun pertama pernikahan sampai saat ini. Kenyataan beserta kondisi sulit telak mematahkan ekspektasiku dalam semalam. Menyesal kah? Mungkin pernah. Tetapi dalam kondisi apapun, engkau perlu waktu untuk menenangkan diri. Untuk kembali berpikiran jernih.

Seburuk apapun kemarahan, kekecewaan yang dirasakan, pasti selalu ada ribuan alasan untuk kembali. Dan redamkan segala yang keruh di dalam diri.

Tak sekali pula merasa lemah, terpuruk, bahkan timbul rasa kufur. Tetapi bukankah masalah hadir untuk diselesaikan baik-baik? Bukankah ujian datang untuk membuatmu kian matang? Agar kau tak berhenti pada satu tapakan saja, melainkan naik ke anak tangga selanjutnya.

Kendati kehidupan berumah tangga kadang kala tak semudah yang diinginkan. Terlebih untuk kami yang sudah melalui konflik dan polemik pelik. Ketika harus hidup mandiri benar-benar dimulai dari 0. Namun yang terpenting adalah saling bertahan dan mempertahankan. Terlepas dari dinamika apa yang sedang dihadapi bersama.

Yang tak kalah penting ialah hati yang memilih untuk tak beranjak. Tetap tegar membersamai dalam tiap fase kehidupan yang datang.

Untuk belajar lebih baik agar peka membaca situasi. Serta kian bijaksana dalam hadirkan solusi.

Sekalipun sampai saat ini kelemahan diri masih mendominasi dalam banyak hal termasuk juga saat terbentur masalah bertubi. Setidaknya, seperti yang suami katakan.. "Mari berproses lebih baik lagi. Mari mencoba lagi. Mari berusaha lagi.."

Percayalah.. di antara semua kesulitan itu, ada saat kita tertawa lepas dan saling memeluk dalam suka. Menghitung nikmat demi nikmat yang nyatanya jauh lebih banyak. Mengukur lagi kedewasaan diri yang tertempa melalui hadirnya masalah. Menatap lagi wajah satu sama lain untuk memberi kekuatan lagi dan lagi. Serta tak lupa ucapkan kata terima kasih untuk mau berjuang bersama :')

Di satu titik, ketika hati dan pikiranmu hanya berpikir tentang kesulitan yang menguji.. seolah ada tembok besar yang menjadi sekat. Tetapi di satu titik lain, engkau akan sampai di waktu di mana tembok itu tidaklah sebesar yang dirasakan ketika hati terundung kesedihan. Ada kala kita justru mensyukuri semua kesulitan, ujian, masalah yang datang, sebab telah memberimu pelajaran terbaik. Ingat? Ini sekaligus cubitan dan pengingat bagi diriku sendiri. Bahwasanya Allah hanya beri apa yang kita butuhkan, tak melulu tentang apa yang diinginkan.

Karena barangkali, yang kita jalani saat ini adalah apa yang lebih dibutuhkan melebihi semua yang dikehendaki angan. Allah tahu yang terbaik 😊

Dalam diri setiap pasangan memiliki kekurangan, namun kita atau dia adalah kelebihan. Kelebihan untuk saling menutupi kekurangan. Kelebihan untuk saling menutupi aib pasangan. Kelebihan untuk lebih mengerti dan memahami. Kelebihan untuk saling memberi pundak untuk beban yang diemban. Dan berbagai macam kelebihan yang muncul dari dalam diri setiap saat. Ketika harus terbentur masalah atau ketika satu persatu masa sulit mampu dilewati bersama. Mari saling menopang, mendewasa dan tumbuh bersama. Terkhusus untuknya, lelaki bernama suami sekaligus ayah dari anakku  :)



"Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka." [QS. al-Baqarah: 187]

*****×*****

Pada lelaki yang tetap memeluk sabar dan memikul amanah di pundaknya, semoga Allah ridha padamu. Semoga Allah ridho terhadapku sebagai seorang istri. Semoga Allah ridha pada rumah tangga ini, pada anak-anak yang lahir membersamai. Hingga jalan demi jalan baik akan senantiasa terbuka di hadapan langkah, menuju Jannah-Nya walau tak mudah.

Sakinah mawaddah warahmah bersamamu until jannah. Aamiin. Insyaa Allah.

Self reminder, with love..
For my lovely husband 💓
Magelang, 2 Oktober 2018
© #bianglalahijrah 

0 Komentar