Pernah ketika duduk bergerombol dengan sekumpulan ibu-ibu yang tengah ngerumpi asyik tentang topik terbaru yang sedang beredar di sekitar mereka. Tak jarang, mereka ngerumpiin si A yang kebetulan sedang tak ada di antara mereka. Tak jarang ngerumpiin si B yang kemarin baru saja meluncurkan topik rumpi tentang si C. Mereka diam-diam saling membicarakan satu sama lain, tentunya tidak di hadapan yang terkait secara langsung.

Itu mengapa begitu jadi menantu yang memang bukan asli Jawa. Aku memilih untuk lebih banyak di dalam rumah. Karena praktek di atas seperti sudah menjadi tradisi turun temurun dan tak bisa diputus begitu saja. Takutnya orang lain yang berghibah kita yang dapat tempias dosanya. Karena kita juga ikutan nimbrung sekalipun hanya jadi pendengar.

Di dunia ini sulit sekali untuk melepaskan diri dari penilaian orang lain. Bahkan tak satu orang pun yang pernah luput dari mulut-mulut yang senang membicarakan kejelekan saudaranya. Termasuk ketika aku hanya memilih untuk lebih banyak di dalam rumah dan bergaul dengan tetangga seperlunya, ada komentar tak menyedapkan yang tetap mampir ke telinga.

Memilih untuk nimbrung atau tidak, konsekuensinya sama. Kita yang akan menjadi pembicaranya atau kita yang justru dibicarakan mereka.

Satu waktu saat berkunjung ke rumah mertua, Aidan masih beberapa bulan waktu itu. Masih menetek dan lengket di gendongan ibunya. Beberapa tetangga mendekat hanya untuk mengorek apa yang bisa mereka komentari. Tentang beginilah atau begitulah. Alih-alih mereka juga membicarakan orang lain yang kebetulan kukenal, intinya betapa mereka seakan lebih tahu apa yang seorang ibu rasakan saat menangani anaknya.

Mereka menganggap bahwa pengalaman mereka jauh lebih baik dari siapapun dalam soal menangani anak maupun cucu-cucu mereka, barangkali.

Dulu ketika awal hamil, aku dan suami memutuskan untuk mengambil jarak dari lingkungan yang memang tak kondusif. Tetapi setelah menjadi ibu, mau tak mau aku harus terbiasa dengan celetukan-celetukan asal dari beberapa orang yang begitu senang berkomentar tanpa menimbang isi perasaan orang lain. Bagi mereka, apa yang ingin mereka katakan adalah mutlak kebenaran. Sekalipun fakta yang ada tak lagi mendukung argument mereka.

Tak jarang aku memilih menarik diri dan menangis sendiri saat kata-kata mereka begitu tajam menusuk hati. Ucapan yang seharusnya tak terlontar bagi mereka yang benar-benar tahu. Jadi, ada kala aku harus membesarkan hati. Bukankah seseorang berbicara atas dasar ilmu yang ada padanya? Barangkali sebatas itulah pengetahuan yang mereka miliki. Lagi pula, semakin orang berilmu ia akan semakin minim kata untuk berbicara hal yang tak perlu.

Memaklumi. Untuk bisa memberi maaf kendati hati masih sakit.

Bagiku, menjadi ibu adalah hadiah terbesar dari Allah. Meski dari sejak hamil hingga detik ini, semua benar-benar dirasakan sendiri. Hanya dikerjakan berdua dengan suami. Dari persiapan menyambut buah hati, persalinan, hingga setelah Aidan lahir. Semua kami persiapkan sendiri tanpa bantuan orangtua. Tak sedikit kesulitan yang sudah kami lalui dan tak siapapun tahu.

Jika beberapa pasangan atau orangtua baru menerima banyak bantuan dari orangtua maupun mertua mereka, maka lain halnya dengan kami.

Orangtuaku jauh di seberang pulau sana, jarak rumah mertua juga tak bisa ditempuh dengan jalan kaki dalam hitungan menit. Ditambah ada beberapa hal yang membuat keadaan tak berjalan seperti yang kami harapkan.

Sedih sekali jika ada mulut-mulut tajam yang begitu senang menikam. Mereka tak tahu, kesulitan seperti apa yang sudah kulalui hingga sejauh ini. Tatkala orang lain melalui persalinan dengan dampingan orangtua, maka aku berbeda, suara mamak hanya bisa menemani sebentar lewat sambungan telepon genggam.

Jika kemudian ada orangtua yang mau bergantian momong cucunya ketika kondisi sang ibu benar-benar letih dan lelah, maka berbeda denganku. Sejak pagi hingga sore mengurus bayi sendirian dengan rentetan pekerjaan rumah tangga, sambil menunggu suami pulang kantor di sore hari.

Ada saat di mana aku menangis sambil mencuci pakaian karena lelah bercampur perasaan yang sulit dijelaskan. Sempat mengalami sindrom baby blues saat harus beradaptasi mati-matian setelah menjadi ibu. Kaget, lelah, stress, dan banyak faktor yang menjadi pemicu saat itu.

Kadang,  aku hanya bisa menggodok satu bungkus Indomie dan memakannya dalam keadaan dingin sambil memangku Aidan yang masih menyusu tanpa mau lepas dari gendongan. Barangkali, di waktu yang sama ada ibu yang bisa makan dengan lahap sebab orangtua/mertuanya bersedia berganti peran sesekali.

Atau ketika Aidan jatuh sakit dan hanya kami berdua dengan perasaan panik bercampur aduk. Setelah menjadi ibu, banyak hal yang berubah termasuk daya tahan tubuh yang mudah sekali masuk angin dan mengalami demam. Tetapi jika masih bisa bangun, maka pilihannya tetap memaksa tubuh untuk berdiri dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Dan hal yang menjadi pengalaman seumur hidup, ketika baru saja melahirkan Aidan. Jika seorang ibu bersalin seharusnya banyak beristirahat dan cukup tidur. Aku justru tak tidur sama sekali terhitung dari malam ketika berjuang melahirkan Aidan berlanjut di malam berikutnya. Sebab harus membersihkan rumah setelah semua orang pamit pulang.

Aku bahkan baru bisa merebahkan tubuh tepat jam 3 dini hari ketika memastikan rumah dalam keadaan rapi dan besih. Mengingat besoknya, kami akan menerima kunjungan tamu yang tak sedikit.

Apa saja yang kukerjakan? Merapikan barang-barang, menyapu, mengepel lantai, bahkan membersihkan kamar mandi juga sisa piring kotor. Jika bukan bantuan Allah aku takkan bergerak sekuat itu, sekalipun bekas jahitan terasa linu. Sekalipun letih di sekujur badan usai persalinan masih begitu terasa. Nyatanya, Allah yang memampukanku untuk mengerjakan semua pekerjaan itu hingga selesai.

Disusul malam-malam lainnya tatkala jam tidur berkurang karena harus bangun setiap 2-3 jam untuk menyusui Aidan. Ini pengalaman tak terlupakan. Sekalipun kadang terasa sedih karena mungkin tak seperti orang lain. Tapi prinsipku, tak ada yang berubah hanya dengan membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain.

Aku percaya bahwa setiap pasangan yang baru saja beroleh amanah anak memiliki ujian dan airmatanya tersendiri. Dari pengalaman yang aku bagi di sini, di luar sana pasti ada pasangan yang telah mengalami perjuangan lebih dari apa yang pernah kami lalui.

Yang terpenting saat ini adalah terus belajar dan belajar bagaimana cara menjadi orangtua yang baik. Orangtua yang dapat mendidik anak-anaknya menjadi jundullah terbaik di muka bumi. Belajar untuk menjadi madrasatul ula yang bisa menyematkan kebaikan sejak dini pada diri anak-anak.

Tak peduli seberapa banyak komentar yang sanggup mematahkan hati dan semangat kita, tugas kita adalah berbenah dan menjadi lebih baik. Bukan menurut barometer penilaian orang lain, tetapi menurut kesanggupan kita dan apa yang membuat Allah ridha terhadap kita.

Tak ada orangtua yang bisa sempurna dalam banyak hal terutama soal mendidik atau mengasuh anak-anak mereka, tetapi juga tak ada yang berkurang dari itu. Cinta, kasih sayang, perjuangan, ketulusan, setiap orang memiliki paket perjuangannya masing-masing. Setiap pasangan, orangtua, memiliki ladang kebaikannya masing-masing.

Self remind untukku, untuk airmata yang jatuh di lebaran hari ke sekian beberapa waktu lalu. Maafkan orang-orang yang berkomentar sesuka hati,  mereka hanya tidak mengerti apa-apa yang sudah kau lalui sejauh ini. Tetap, jadikan Allah landasan dan sandaran untuk setiap niat dalam hati. Untuk tuju dalam langkah, hanya Allah. Lillah,  Lillah, Lillah, agar senantiasa berkah insyaa Allah.

Tak harus seluruh orang tahu tiap jengkal rasa lelah yang telah kita geluti, biarkan itu menjadi rahasia manis yang justru memberatkan timbangan kebaikan kita di sisi Allah. Sebab ada Allah. Allah tidak tidur. Allah yang tahu pasti apa yang sudah kita kerahkan selama ini. Sekalipun masih ada yang berkomentar, mengatai engkau tak becus sebagai ibu, atau engkau tak telaten mengurus anak.

Allah tahu usahamu. Dan komentar buruk mereka terhadapmu, takkan mengurangi takaran pahalamu di sisi-Nya.

Teruntuk setiap ibu yang berjuang menjadi sebaik-baik pendidik bagi anak-anaknya.

Semoga bermanfaat :')

Magelang, Sabtu, di penghujung Juni 2018.
© @bianglalahijrah_

0 Komentar