Ramadhan tahun ini jadi puasa perdana bagi Aidan. Sebagai ibu tentu saja merasa senang ketika sang anak bisa diajak kerjasama. Untuk kedua Mbahnya alhamdulillah mendukung, kendati suami sempat menolak. Ia beranggapan bahwa anak seusia Aidan belum waktunya untuk disuruh berpuasa dengan dalih kasihan. Jadi aku menjelaskan bahwa puasa ini hanya sebagai latihan sejak dini. Ini bentuk dari didikan yang ingin kuberikan pada anak. Agar semakin mereka tumbuh besar, tugasku dalam mengarahkan sekaligus mendidik akan menjadi lebih mudah insyaa Allah.

Mengapa lebih mudah? Sebab anak yang sudah terbiasa dididik dengan pengajaran dan pemahaman baik sejak dini, pada akhirnya hal itu pula yang akan membentuk habits baik pada diri sang anak. Meski saat ini ia belum mengerti apa hakekat berpuasa, setidaknya anak mau belajar untuk mengendalikan kemauannya. Yang biasanya jadwal makan jam segini tetapi harus menunggu waktu berbuka yang telah ditentukan.

Hari pertama hingga hari kedua berpuasa, Aidan berhasil menahan lapar dan haus hingga waktu dzuhur tiba. Setelah lewat jam dua karena Aidan tak lagi minta makan dan minum, puasa lanjut dan buka untuk kedua kalinya saat adzan maghrib tiba. Rewel nggak sih? Alhamdulillah Aidan justru antusias dan lebih tangguh dari perkiraanku. Yang hari biasanya selalu teriak-teriak tiap kali minta makan, tetapi saat minta makan di tengah jam puasanya, Aidan jadi lebih tenang.

Hari pertama, jam setengah sepuluh Aidan sudah minta makan. Begitu ibunya menjelaskan bahwa waktu berbuka puasa belum tiba, Aidan hanya mengangguk sembari mengiyakan penjelasan ibunya. Dari sehari sebelum Ramadhan aku sudah menjelaskan pada Aidan bahwa ayah dan ibunya akan berpuasa, "Besok ayah sama ibuk, akan berpuasa. Aidan ikut puasa nggih. Sebagai latihan puasanya sampai siang saja. Nggak harus sampai maghrib, kan Aidan masih kecil." jelasku. Aidan hanya tersenyum.

Lagi-lagi menjawab 'iya' untuk keterangan ibunya yang entah dia pahami atau tidak 😅 ini tahap, setidaknya sebagai orangtua kita sudah menanamkan nilai akidah sejak dini. Bahwasanya berpuasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban umat muslim. Kendati saat itu aku hanya menjelaskan bahwa berpuasa berarti menahan lapar dan haus dari sahur hingga waktu berbuka yang kami sepakati.

Aslinya sih hanya sampai jam sepuluh, tetapi alhamdulillah bisa sampai dzuhur. Menu bukanya juga nggak neko-neko. Segelas susu dan sepiring nasi. Hari selanjutnya plus buah-buahan. Anehnya, Aidan nggak suka kurma. Jadi aku hanya memberinya ekstrak madu dan kurma yang harus dipujuk dulu, baru mau minum. Bagi Aidan segelas susu coklat tetap minuman paling enak dalam kondisi apapun. Tabarakallah..

Besok sudah puasa hari ke-sebelas ya, Aidan sempat goyah di hari keempat karena tetangga yang juga merasa tak lazim dengan anak kecil yang berpuasa justru gemas ingin memberi Aidan makanan. Malah, waktu Aidan kuajak ke pasar bedug, ibu-ibu penjual kue justru memberikan Aidan kue donat berukuran cukup besar. Padahal waktu maghrib tinggal setengah jam lagi, batal deh buka kedua nunggu adzan maghrib 😂

Kadang, sebagai ibu sudah mantap banget untuk mendidik dan mengajarkan pada anak hal-hal baik yang kelak akan membentuk karakternya setelah dewasa. Tetapi ya itu, ujiannya kadang pula datang dari partner/pasangan, keluarga dekat, tetangga, sampai ke omongan orang-orang yang tidak begitu dekat dengan kita namun ikut-ikutan nyinyir 😅

Aku yakin tiap pasangan, orangtua, tentu memiliki cara berbeda dalam hal mendidik anak. Ada yang mendidik berdasarkan pengalaman yang ia dapat sejak kecil. Rantai pola asuh yang bergilir dari ibunya ke dirinya, dari dirinya turun ke anaknya. Namun ada pula orangtua yang mau membuka diri terhadap kemajuan zaman yang berkembang saat ini. Mereka sadar bahwa anak-anak yang tumbuh di abad millenial ini tak bisa disamakan dengan cara didik anak di zaman mereka.

Tipe orangtua seperti ini adalah tipe orangtua pembelajar, mereka tak bosan untuk terus belajar dan berbenah lebih baik setiap saat. Karena anak shaleh atau shalehah tak serta merta lahir dari doa dan keinginan semata. Melainkan pantulan dari keshalehan orangtuanya pula. Maka jika menginginkan anak shaleh, juga wajib shalehkan diri terlebih dahulu. Sebab itu, berproses untuk terus memantaskan diri dalam menuntut ilmu takkan pernah ada kata cukup apalagi sudah.

Karena ilmu itu sendiri butuh waktu seumur hidup untuk bisa senantiasa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kebaikan. Lagi-lagi ini jadi PR besar untukku dalam mendidik anak di zaman ini. Sebab anak yang shaleh bukan sekedar wacana tetapi sebuah cita-cita. Semoga Aidan Fayyadh Al-Fatih tumbuh menjadi jundullah terbaik di muka bumi, penerus dakwah Nabi, abdullah shaleh, hafidz Qur'an, pecinta ilmu, bermanfaat bagi sesama, berbakti pada kedua orangtuanya. Kelak, orang yang bisa merengkuh dunia dengan kedua tangannya tetapi akhirat senantiasa ada di hatinya. Allah senantiasa menjadi orientasinya, Rasulallah adalah teladannya. Aamiin yaa mujibassailin.

Aku bersyukur pengalaman yang kudapat dari pola asuh yang kuterima membuatku bisa belajar lebih baik. Untuk menelaah dan memilah sebaiknya pola asuh seperti apa yang baik untuk diberikan kepada anak. Aku juga terus belajar dengan menambah literatur bacaan yang berkaitan dengan dunia anak atau positive parenting. Sebab sekali lagi, mendidik anak itu dengan ilmu. Perlu ilmu yang tak sedikit. Jadi sebagai orangtua kita tak boleh lengah apalagi merasa puas. Merasa cukup padahal ilmu yang dipunya belumlah seberapa.

Sebagai penutup mengutip perkataan Imam Al-Ghazali,  "Ketika anak diabaikan pada masa pertumbuhan awal, umumnya ia akan jadi orang berakhlak buruk seperti pendusta, pendengki, pencuri, suka mengadu domba, suka meminta, suka melakukan hal-hal tiada guna, suka tertawa, dan bertindak gila. Semua ini bisa dihindari dengan pendidikan yang baik."

Aku percaya bahwasanya pendidikan sejak dini, menanamkan nilai-nilai aqidah sejak dini, mengajari anak untuk turut serta berproses sejak dini berarti kita sedang sungguh-sungguh mempersiapkan anak-anak yang berakhlakul karimah di kemudian hari. Anak-anak yang diharapkan dapat menjadi insan kamil. Aamiin insyaa Allah.

Dan kelak, apa yang didapatkannya hari ini, seluruh kejadian masa kecil itu akan membentuk sebagian besar kepribadian dan orientasi pada diri sang anak. Mendidik anak sejak dini atau nanti? Tentu saja sejak dini. Bahkan bermula sejak anak masih berada di dalam rahim ibunya. Anak-anak kita berhak lahir maupun tumbuh dari didikan orangtua yang shaleh/ah. Mari berbenah, terus belajar, semoga Allah mudahkan semua. Aamiin.

Bismillah, rabbi habli minash shalihin. Aamiin yaa mujibassailin.

Magelang, 26 Mei 2018
© @bianglalahijrah
#RamadhanBerbagiInspirasi #day10 #FLPGresik #WritingChallenge 

0 Komentar