Aku rasa, impian setiap wanita kurang lebih sama saat ia memantapkan hati untuk melangkah menuju jenjang pernikahan. Ketika memilih satu orang yang ia rasa layak untuk menjadi pendamping seumur hidup, untuk menuntunnya menuju kebaikan beserta syurga.

Impian sederhana tentang rumah tangga bahagia, anak-anak yang shaleh dan shalehah. Dan yang terpenting adalah suami yang akan mencintaimu tanpa syarat. Yang akan menerima segala kekuranganmu seperti ia merasa bangga pada kelebihanmu.

Seorang suami yang takkan pernah melemparkan caci maki kendati ia begitu emosi. Suami yang takkan pernah melayangkan tangan pada tubuh perempuan yang telah melupakan rasa penat demi segenap kewajiban dan kata taat.

Impian sederhana untuk mencintai satu laki-laki yang sama, kendati ada waktu di mana cinta itu akan goyah diterpa rasa kecewa.

Hanya berharap bahwa bersamanya, bahagia sesederhana apapun dapat tercecapi dengan rasa syukur tak bertepi.

Kadang, seorang istri marah bukan karena ia tak menghargaimu sebagai kepala rumah tangga. Tetapi tak lebih sebab ada batin yang juga menuntut pemenuhan untuk perasaan lelah yang kerap terabaikan. Perasaan tak dihargai. Perasaan tak diperhatikan. Perasaan jenuh untuk posisi kedua yang harus selalu didapatkannya, setelah mengutamakan orang lain, segala hal di dalam hidupnya.

Andai setiap suami ingin berprasangka baik sebelum ikut terbawa emosi.

Bahwa perempuan yang ia nikahi adalah seseorang yang di antara kelebihannya juga disertai kekurangan. Ia sosok yang sama tak sempurna. Di dalam dirinya mungkin ada banyak keluhan yang terkadang harus begitu lama ia pendam, hingga tak jarang meledak dengan cara yang salah. Maka engkaulah yang seharusnya menjadi pendengar pertama untuk segala keluh kesahnya.

Andai setiap suami hendak memaklumi.

Bahwa marahnya seorang istri, hanya karena ia lelah. Hanya karena ia sedang ingin diperhatikan. Hanya karena ia sedang ingin dimanja. Hanya karena jiwanya sedang menuntut untuk lepas dari rasa penat yang mengikat. Maka perhatikan ia, sepertimu yang ingin beroleh perhatian lebih saat pulang usai mencari nafkah. Sepertimu yang selalu ingin dilayani.

Andai setiap suami ingin lebih banyak mengalah.

Agar tak perlu membalas marah dengan serapah. Agar tak perlu meninggalkan bekas luka di tubuh. Agar tak perlu ada rasa sakit yang menganga terus menerus di dalam dada.

Andai setiap suami mau mengerti, bahwa perempuan yang ia nikahi bukan sekedar untuk menjadi pekerja rumah tangga yang menyambi mengasuh anak. Yang setiap hari harus bergulat dengan banyak pekerjaan dalam satu waktu dalam 24 jam, lalu malam hari beralih profesi di bawah selimut sang suami.

Andai seorang suami mau memahami, bahwa kemarahan seorang istri takkan memuncak lama jika ia ingin memberi waktu agar amarah mereda dengan sendirinya. Jika ia ingin sedikit saja mengalah, memujuk hati istri yang tengah merajuk.

Andai seorang suami bisa mengekang ego untuk tak hanya merasa lelah sendiri, capek sendiri, pusing sendiri, hingga lupa bahwa ada seorang istri yang berjaga di rumah dengan segunung perasaan tak berupa tetapi kerap menyiksa.

Andai seorang suami bisa lebih menyelami perasaan seorang istri, kesederhanaan bahagia yang tak perlu banyak syarat, kecuali kebutuhan jiwa yang terpenuhi dengan baik.

Maka dengarkan istrimu, rangkul ia. Perhatikan istrimu, rengkuh ia. Jangan biarkan istrimu tergugu sendirian di sudut kamar dengan setumpuk penyesalannya. Menyesal karena merasa menikahi orang yang salah. Menyesal untuk lelah yang terbuang sia-sia dengan impian yang semakin jauh dari genggaman.

Engkau ingin istrimu seperti apa? Bercerminlah terlebih dahulu. Tanya dirimu, suami seperti apakah engkau selama ini? Sudah cukup baikkah untuknya? Sudah cukupkah perhatian, kasih sayang dan rasa cinta yang engkau curah? Sudah cukupkah rasa lapang yang engkau suguhkan padanya?

Engkau ingin istrimu bagaimana? Jika engkau sendiri tak menyadari engkau suami yang seperti apa.

Dan yang kutahu, suami istri ibarat pakaian bagi satu sama lain. Suami istri ibarat cermin bagi satu sama lain. Masing-masing saling memantulkan rupa yang sama. Bagaimana engkau, begitu pula istrimu.

Maka jangan pernah menuntut istrimu untuk lebih, lebih, dan lebih. Sedang engkau sendiri enggan untuk memberi lebih.

Jangan memaksa istri untuk bisa tunduk seperti bawahan jika engkau sendiri belum layak disebut imam yang baik baginya.

Dan yang lebih penting, suami yang baik seharusnya menghantar istrinya untuk mewujudkan mimpi demi mimpi dengan rasa percaya diri. Bukan justru mengurungnya dalam kehidupan pernikahan yang bahkan tak mendekati mimpi sederhananya saat sebelum berumah tangga.

Untukmu, para suami. Dari seorang istri yang sama tak sempurna.


kau tahu? apa yang lebih menyakitkan, saat air mata bahkan tak cukup untuk menterjemahkan rasa sakit. Allahu yahdih..
Magelang, 30 Agustus 2017
Copyright : @bianglalahijrah_

0 Komentar